Home » » Untukmu Saudaraku Aktivis Lembaga Dakwah Kampus

Untukmu Saudaraku Aktivis Lembaga Dakwah Kampus


 “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.S. Muhammad: 7) 
“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi asing sebagaimana kedatangannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu”. (H.R. Muslim)
“Orang-orang yang asing: orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak daripada yang menaatinya.” (H.R. Ahmad)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Wahai para sahabatku yang kini berada dekat denganku, yang saat ini tengah berjuang di medan dakwah kampus. Sebuah fase yang begitu melelahkan untuk dikerjakan, namun besar ganjaran yang telah Allah janjikan bagi siapa pun yang mengerjakannya. Sebuah fase yang pelakunya menjadi kaum minoritas, namun begitu besar ghiroh perjuangannya. Sebuah fase yang menjadi miniatur atau laboratorium kehidupan sebelum terjun ke medan dakwah yang sebenarnya, yakni dakwah masyarakat.
 
Mungkin tulisan ini bukan hal yang patut diungkapkan. Namun, adanya hal yang mengganjal lah yang menjadikan penulis berani menuangkannya dalam sebuah tulisan ini. Penulis merupakan seorang kader dakwah kampus yang merasakan adanya hal yang berbeda dari dakwah kampus ini, khususnya di perguruan tinggi tempat penulis kuliah. Sekali lagi, penilaian ini bukan menyamaratakan pada seluruh lembaga dakwah kampus. Tujuannya hanya murni untuk memperbaiki sistem yang dirasa agak berbelok di kampus penulis

Mengutip perkataan seorang da’i terkenal, yakni Ustadz Abu Jibril, “Orang yang dikatakan beriman adalah jika ia meyakini bahwa syariat Islam sebagai penyelamat, tidak ada keberatan hati untuk menerima syariat Islam”. Ketika kita berbicara masalah syari’at Islam, maka yang harus ada di pikiran kita adalah segala sisi kehidupan harus didasari oleh aturan Islam. Syari’at Islam bukan hanya dikaitkan dengan ibadah, bahkan dalam sebuah lembaga atau organisasi pun harus didasari dengan syari’at Islam. Apalagi lembaga yang menamakan dirinya lembaga dakwah kampus.

Kini penulis sendiri merasakan kurang adanya penerapan syari’at Islam secara kaffah dalam lingkungan dakwah kampus. Sehingga akhirnya LDK terkesan sama saja dengan lembaga lain yang tidak berbasis Islam. LDK pasti sangat memahami bagaimana Rasulullah Saw. telah menerapkan syari’at Islam dalam sebuah negara. Oleh karena itu, sewajarnya lah setiap LDK juga berusaha menjadikan hal ini sebagai dasar untuk bersikap. LDK berlandaskan syari’at Islam, bukan nasionalis religius yang tidak mendukung adanya syari’at Islam.

Permasalahan ini memuncak ketika teman penulis yang sesama kader dakwah, hanya saja berbeda fakultas, berusaha untuk menegakkan syari’at Islam dalam ruang lingkup struktur organisasi. Organisasi LDK yang dirasakannya selama ini kurang menerapkan syari’at Islam secara benar, yakni antara ikhwan dan akhwat berada dalam satu bidang. Hal ini berarti dalam banyak waktu akan menuntut adanya percampuran antara ikhwan dan akhwat, baik dalam kegiatan maupun rapat. Syari’at Islam sudah mengatur pergaulan antara ikhwan dan akhwat serta adanya perintah untuk menundukkan pandangan.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (Q.S. An-Nur: 30)

Struktur organisasi yang mencampurkan antara ikhwan dan akhwat akan mengakibatkan keduanya berinteraksi secara intensif. Jika seringnya pertemuan antara keduanya, maka setan akan mudah menggoda menuju perbuatan yang tidak disyri’atkan Islam. Jika syari’at Islam diterapkan dalam sebuah organisasi, maka struktur antara ikhwan dan akhwat akan dipisah. Jika Anda melihatnya, apakah ada mudharot dari struktur organisasi yang memisahkan antara ikhwan dan akhwat? Penulis menemukan fakta bahwa lembaga dakwah fakultas (LDF) ada yang menaunginya, yakni lembaga dakwah kampus (LDK) di tingkat universitas. Lembaga dakwah kampus dapat dikatakan sebagai induk atau ibu dari LDF. Induk atau ibu memang harus dipatuhi oleh anaknya, namun induknya tersebut juga harus tahu aturan yang menyangkut syari’at Islam. APAKAH STRUKTUR ORGANISASI LDF YANG MENCAMPURKAN IKHWAN DAN AKHWAT TIDAK BOLEH DIUBAH HANYA KARENA INDUKNYA (LDK) TIDAK MENERAPKAN HAL SEPERTI ITU? Jika saat ini LDK masih menerapkan pola instruktif, yakni LDF harus mematuhi segala hal yang berkaitan dengan syuro’ yang telah ditetapkan dari LDK, maka dapat dikatakan akan mematikan karakter dari LDF untuk bisa maju dalam hal syi’ar. Jika hal ini yang menjadi kenyataan dalam tubuh LDK di kampus penulis, maka penulis termasuk orang yang menentangnya. Hal yang paling dikhawatirkan (semoga tidak terjadi) adalah adanya lembaga lain, apakah berbentuk partai politik atau lembaga lain, yang berusaha memainkan peran dan pengaruhnya di LDK. Jika hal ini terjadi, maka akan berkurang kemurnian perjuangan dakwah Islam dalam tubuh LDK.

Sudah banyak terjadi hal-hal yang diakibatkan oleh kurangnya batas atau hijab antara ikhwan dan akhwat. Satu di antaranya adalah maraknya VMJ atau Virus Merah Jambu di kalangan kader dakwah. Astaghfirullah. Hal ini terjadi karena hijab hanya dipandang sebatas pada kain yang memisahkan ruangan antara ikhwan dan akhwat. Atau hal yang lebih parah adalah hijab hanya dipandang di sekretariat yang ada kain pemisahnya. Maka hal seperti VMJ akan banyak merebak jika lembaga dakwah sendiri tidak berperan dalam memisahkan pergaulan antara ikhwan dan akhwat. Jika ada kader dakwah yang mengatakan bahwa hal seperti itu tergantung hati masing-masing, maka penulis berpandangan bahwa ia setuju dengan pernyataan bahwa “tidak perlu berjilbab, yang penting hatinya berjilbab” atau “tidak perlu lah sholat, yang penting ada niat di hati dan sudah berbuat baik”. Dua pernyataan tersebut juga tergantung pada hati masing-masing orang.

Hal lain yang begitu bertentangan adalah sering diangkatnya akhwat sebagai pemimpin dalam organisasi. Pemimpin tidak hanya diartikan sebagai ketua umum, bahkan ketua bidang sudah dikategorikan sebagai pemimpin. Apakah masih kabur aturan Islam bahwa dilarangnya mengangkat wanita sebagai pemimpin? Banyak mudharot yang ditimbulkan oleh hal ini. Suara akhwat yang pada hakikatnya adalah aurat akan banyak diekspos. Akhwat akan sangat terbiasa bersuara tinggi dan keras hanya sekedar untuk menyampaikan pendapatnya. Bahkan hal ini akan dinikmati oleh ikhwan sebagai peserta kegiatan atau rapat, na’udzubillah. Akhwat juga akan terbiasa untuk berdebat untuk mempertahankan argumennya karena telah terbiasa diberikan kesempatan dan berada di posisi tinggi. JIKA MENGANGKAT WANITA SEBAGAI PEMIMPIN HANYA BERTUJUAN UNTUK MEMPERTAHANKAN KEKUASAAN, MAKA HAL INI AKAN SANGAT BERTENTANGAN DALAM ISLAM. Hal lain yang penulis rasakan yang juga berkaitan dengan hal di atas adalah kader dakwah harus tetap memegang lembaga yang berbasis siyasi atau politik dan akpro di kampus. Kita tidak hanya dapat belajar dan mengambil hikmah dari kemenangan, tetapi juga kita akan banyak belajar dari kekalahan. Kekalahan dalam politik kampus bukan berarti kekalahan dakwah Islam di kampus tersebut. Kita akan banyak belajar bahwa mungkin sikap kita dengan saudara-saudara di luar LDK masih belum terbuka atau masih eksklusif, sehingga mereka belum mempercayai kita sebagai pemimpin mereka.

Hal terakhir yang ingin penulis sampaikan yang juga menimpa penulis sendiri adalah terlalu tertutupnya kader dakwah terhadap jamaah yang ada di luarnya. Sebagai fakta, penulis telah mendengar ada sebuah informasi yang mengatakan bahwa penulis telah keluar jamaah hanya karena sering ikut kajian dari jamaah lain. Hal ini sungguh di luar dugaan. Hanya sekadar mengikuti kajian dan cukup intensifnya pergaulan penulis dengan saudara-saudara dari jamaah lain telah membawa kepada sebuah anggapan yang tidak dipikirkan sebelumnya oleh penulis. Hal yang paling dikhawatirkan adalah timbulnya sikap bangga dan eksklusif terhadap jamaah sendiri tanpa melihat sisi baiknya jamaah lain. Padahal sangat banyak jamaah yang masih lurus memperjuangkan Islam. Jika suatu jamaah membatasi kadernya menimba ilmu di jamaah lain, maka jamaah tersebut telah menghalangi kadernya untuk mencari kebenaran. Cukup sudah 87 tahun (sejak Khilafah Islamiyah runtuh pada bulan Maret 1924) kita sesama umat Islam selalu dilanda perbedaan. Oleh karena itu, perbedaan jamaah juga harus disikapi dari melihat tujuan jamaah tesebut. Jika setiap jamaah mempunyai tujuan untuk menegakkan Islam di muka bumi ini, maka insya Allah hal-hal yang ada dalam jamaah tersebut adalah kebenaran.

Sekali lagi, penulis mengatakan bahwa hal ini semata-mata untuk memperbaiki sistem yang dirasa telah berbelok dari yang semestinya. Sekali lagi, penulis hanya mengambil fakta dan kenyataan di kampus tempat penulis kuliah, dan tidak pernah ada kesan bahwa penulis ingin menyamaratakan dengan dakwah kampus di daerah lain. Dakwah kampus di setiap daerah adalah lembaga yang telah memperjuangkan tegaknya Islam. Hanya saja, mungkin saat ini ada sistemnya berbelok dari arah semula. Penulis juga akan senang jika tulisan ini disempurnakan oleh saudara-saudara yang mungkin juga menemukan hal-hal tersebut, tetapi harus dengan niat untuk meluruskan kenyataan yang ada.

Keinginan kita bersama adalah tetap tegaknya Islam di muka bumi ini. Namun, tegaknya Islam bukan hanya dalam bidang ibadah saja, melainkan dalam setiap sisi kehidupan kita, temasuk dalam dakwah kampus. Tulisan ini adalah tanggung jawab dari penulis sendir, tanpa ada intervensi dari pihak lain. Semoga kita menjadi generasi ghuroba, yang selalu memperjuangkan kebenaran dan menebar menfaat walaupun sedikitnya pendukung. Selalu bejuang di jalan Allah meskipun menjadi kaum minoritas. SALAM SATU JARI, TEGAKKAN KALIMAT TAUHID DI MUKA BUMI INI.

Penulis: Fuad Setiadi (FKIP Untan)

0 comments:

Posting Komentar

Kalender Hijriah

 
Copyright © 2013. LDSI At-tarbawi - All Rights Reserved
Published by LDSI At-tarbawi
Proudly powered by Blogger