Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
1. Orang yang sakit memiliki kewajiban untuk senantiasa ridha terhadap qadha Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersabar atas taqdir-Nya serta berbaik sangka kepada Rabbnya. Itu yang lebih baik baginya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
عَجَبًا لاَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لاَحَدٍ إِلا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik dan tidaklah yang demikian itu ada kecuali pada seorang mukmin. Yaitu jika ia mendapatkan kelapangan ia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika mendapat kesempitan ia bersikap sabar, itu pun menjadi kebaikan baginya.”
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam juga bersabda:
لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Janganlah salah seorang kalian mati kecuali dalam keadaan ia berbaik sangka kepada Allah Ta’aala.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, Imam Al-Baihaqi dan Imam Ahmad)
2. Seyogyanya orang yang sedang sakit memiliki perasaan antara rasa takut dan harap, yaitu takut akan siksa Allah ‘Azza wa Jalla atas dosa-dosanya dan berharap akan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya. Sikap ini didasarkan pada hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu yang mengatakan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي الْمَوْتِ فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنِّي أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّي أَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam datang kepada seorang pemuda yang hendak meninggal, maka beliau berkata: “Bagaimana keadaanmu?” Pemuda itu menjawab: “Demi Allah ya Rasulullah, sungguh saya sangat berharap kepada (rahmat) Allah dan saya sangat takut akan (siksa Allah) atas dosa-dosa saya.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam berkata: “Tidaklah dua perkara tersebut ada pada hati seorang hamba yang dalam kadaan seperti ini, kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan akan Allah amankan ia dari apa yang ditakutkannya.”
Dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi dan sanadnya hasan. Juga Imam Ibnu Majah dan Imam Abdullah bin Imam Ahmad dalam Zawa’id Az-Zuhd (halaman 34-35), juga Imam Ibnu Abid Dunya sebagaimana dalam At-Targhib (4/141) dan lihat juga dalam Al-Misykah-nya (1612).
3. Seberat apapun sakit yang diderita, tidak boleh baginya untuk berangan-angan ingin mati. Hal ini karena ada hadits Ummul Fadhl Radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pernah datang kepada mereka tatkala ‘Abbas Radhiyallahu’anhu (paman Rasulullah) menderita sakit, hingga ‘Abbas berangan-angan ingin mati. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam berkata:
يَا عَمَّي لا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتَ مُحْسِنًا فأن تؤخّر تَزْدَادُ إِحْسَانًا إِلَى إِحْسَانِكَ خَيْرٌ لَكَ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ خَيْرٌ لَكَ فَلَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ
“Wahai pamanku, janganlah engkau berangan-angan ingin mati, karena sesungguhnya jika engkau termasuk orang yang suka beramal baik, apabila ditangguhkan ajalmu lalu engkau bisa menambah kebaikan lagi kepada kebaikanmu, itu akan lebih baik bagimu. (Sebaliknya), jika engkau termasuk orang yang suka beramal buruk, apabila ditangguhkan ajalmu lalu engkau merasa bersalah atas amal-amal burukmu (menyesal), itu juga lebih baik bagimu. Maka janganlah berangan-angan ingin mati.”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/339), Imam Abu Ya’laa (7076) dan Imam Al-Hakim (1/339), dan beliau katakan: Hadits ini shahih atas persyaratan Syaikhaini (Bukhari dan Muslim). Pernyataan ini disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi. Tetapi sebenarnya hanya memenuhi persyaratan Imam Bukhari saja.
Dikeluarkan juga oleh Syaikhaini dan Al-Baihaqi (3/377) maupun yang lain dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu hadits yang semisalnya secara marfu’, di dalamnya terdapat perkataan: “Kalau terpaksa mesti melakukannya maka ucapkanlah:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Ya Allah, hidupkanlah aku selama hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku apabila mati itu lebih baik bagiku.”
Hadits ini juga dikeluarkan dalam Al-Irwa’ (683).
4. Jika ia masih memiliki tanggungan atas hak-hak orang lain, hendaklah ia tunaikan kepada yang berhak apabila hal itu mudah baginya. Jika tidak mudah, hendaklah ia berwasiat (kepada keluarganya). Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam berkata:
مَنْ كَانَتْ عنده مَظْلَمَةٌ لاَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْماله فليؤدّه اليه قَبْلَ أَنْ يَأتي يوم القيامة لا يقبل فيه دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ وأعطي صاحبه وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ عمل صالح أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَت عَلَيْهِ
“Barang siapa pernah mendhalimi hak saudaranya dalam hal harga diri[1] atau hartanya, hendaklah ia selesaikan sebelum datang hari kiamat, hari yang tidak diterima dinar tidak pula dirham. Jika ia punya amalan shalih maka diambil darinya lalu diberikan kepada orang yang punya hak. Jika ia tidak punya amalan shalih, maka diambil dosa-dosa orang yang bersangkutan lalu dibebankan kepadanya.”
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Al-Baihaqi (3/369).
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam juga berkata:
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لا دِرْهَمَ لَهُ وَلا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab: “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang sudah tidak punya dirham dan tidak punya harta benda.” Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kemudian berkata: “Orang yang bangkrut di antara umatku (adalah orang yang) datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, tetapi ia juga datang dengan membawa (dosa) mencaci orang itu, menuduh orang ini dan memakan harta si itu, menumpahkan darah si ini dan pernah memukul si itu. Maka diberikan kepada si ini dari kebaikannya dan kepada si itu dari kebaikannya. Jika telah habis kebaikannya, sedangkan belum terlunasi tanggungannya, diambillah dosa-dosa mereka lalu dibebankan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim (8/18).
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam juga bersabda:
من مات و عليه دين, فليس ثمّ دينار ولا درهم, ولكنها الحسنات والسيئات
“Barang siapa yang meninggal dan masih punya tanggungan hutang, maka disana tidak ada dinar tidak pula dirham, tetapi yang ada adalah amalan-amalan baik atau amalan-amalan buruk.”
Dikeluarkan oleh Imam Al-Hakim (2/27) dan konteks hadits ini dalam riwayatnya. Juga Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad (2/70-82) dari dua jalan dari Ibnu Umar, jalan yang pertama shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam Al-Hakim dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi, sedangkan jalan yang kedua hasan sebagaimana dinyatakan oleh Imam Al-Mundziri (3/34).
Diriwayatkan juga oleh Imam Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dengan lafadz:
“Hutang itu ada dua macam. Barang siapa yang mati sedangkan ia berniat untuk melunasi hutangnya maka aku yang menjadi walinya. Barang siapa mati sedangkan ia tidak berniat untuk melunasinya maka itulah orang yang diambil amalan baiknya, tidak ada pada hari itu dinar tidak pula dirham.”[2]
Jabir bin Abdillah Radhiyallahu’anhu berkata: Ketika terjadi peperangan Uhud, ayahku memanggilku pada malam harinya, lalu berkata: “Tidaklah ditampakkan kepadaku dalam mimpi kecuali aku menjadi orang yang pertama terbunuh di antara para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam. Sesungguhnya aku tidak meninggalkan setelah matiku orang yang lebih aku cintai daripadamu selain diri Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Aku punya tanggungan hutang maka lunaskanlah, serta berilah wasiat kebaikan kepada saudara-saudaramu.” Maka ketika pagi harinya dialah orang yang pertama terbunuh, semoga Allah meridhainya. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1351).
5. Orang yang sakit hendaknya bersegera untuk menyiapkan wasiat karena ada sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ و لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
“Tidak benar bagi seorang muslim yang bermalam dua malam sedangkan ia punya sesuatu yang ingin diwasiatkannya kecuali semestinya wasiat itu telah ditulis di sisinya.”
Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma berkata: “Tidaklah berlalu satu malam sejak aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam mengatakan itu kecuali sudah kutulis wasiatku.” Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim juga Ashabus Sunan maupun yang lain.
6. Wajib baginya untuk memberikan wasiat kepada sanak kerabatnya yang tidak menerima warisan darinya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 180)
7. Boleh baginya untuk berwasiat dengan sepertiga hartanya, tidak boleh lebih. Bahkan yang afdhal (lebih utama) kurang dari sepertiga, karena adanya hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu’anhu, ia mengatakan:
“Ketika aku bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pada waktu haji wada’, aku jatuh sakit yang mendekati kematian. Maka Rasulullah mejengukku. Lalu kukatakan kepada beliau: “Ya Rasulullah, saya memiliki harta yang sangat banyak, tetapi tidak ada yang mewarisi kecuali anak perempuan saya. Apa boleh saya berwasiat dengan dua pertiga harta saya?” Beliau menjawab: “Tidak boleh.” Kata Sa’ad: Aku berkata lagi: “Kalau separoh hartaku?” Beliau menjawab: “Tidak boleh”. Kukatakan lagi: “Kalau sepertiga hartaku?” Kata beliau: “Ya sepertiga, itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau wahai Sa’ad, kau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan itu lebih baik bagimu daripada kau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin minta-minta kepada manusia (dengan tangannya). Wahai Sa’ad, tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah dalam rangka mencari wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala. Sampai-sampai suapan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” (Kata Sa’ad: “Maka yang kurang dari sepertiga boleh.”)
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (1524) dan konteks hadits ini ada dalam riwayat beliau. Juga oleh Syaikhaini. Tambahan dalam kurung ada dalam riwayat Imam Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu’anhu berkata: Saya sangat senang kalau orang-orang menurunkan dari sepertiga hingga seperempat dalam wasiat, karena Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam mengatakan: “Sepertiga itu sudah banyak.” Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2029, 2076), Syaikhaini, juga Al-Baihaqi (6/269) maupun yang lain.
8. Hendaklah dalam berwasiat ini disaksikan oleh dua orang yang jujur yang muslim. Jika tidak ada maka bisa dengan dua orang (yang jujur) non muslim dengan diminta agar keduanya bersumpah untuk bisa dipercaya apabila ragu akan persaksiannya, sesuai dengan apa yang diterangkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الْآثِمِينَ
فَآخَرَانِ يَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ الَّذِينَ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ الْأَوْلَيَانِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِنْ شَهَادَتِهِمَا وَمَا اعْتَدَيْنَا إِنَّا إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يَأْتُوا بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا أَوْ يَخَافُوا أَنْ تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاسْمَعُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kalian menghadapi kematian sedangkan ia akan berwasiat, maka hendaklah disaksikan (wasiat itu) oleh dua orang yang adil/jujur di antara kalian atau dua orang yang selain kalian. Jika kalian dalam perjalanan di muka bumi lalu kalian ditimpa bahaya kematian, maka kalian tahan kedua orang saksi tersebut setelah shalat agar mereka berdua bersumpah dengan nama Allah jika kalian ragu (dengan mereka mengatakan): Demi Allah kami tidak akan menjual sumpah kami dengan harga yang sedikit walaupun (yang disaksikan) adalah karib kerabat kami, dan tidak pula kami akan menyembunyikan persaksian Allah. Sesungguhnya kami kalau demikian termasuk orang-orang yang berdosa. Jika diketahui bahwa kedua saksi itu berbuat dosa[3] maka digantikan oleh dua orang yang lain di antara ahli waris yang lebih berhak (mendapat warisan), lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah dengan mengatakan: Sesungguhnya persaksian kami lebih layak untuk diterima dari pada persksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas. Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang dhalim. Yang demikian itu lebih dekat untuk menjadikan para saksi mengemukakan persaksiannya dengan sebagaimana mestinya, atau mereka takut kalau ditolak sumpahnya setelah mereka bersumpah. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah serta dengarkanlah (taatlah). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq.” (Al-Maidah: 106-108)
9. Adapun berwasiat agar hartanya diberikan kepada kedua orang tua dan sanak kerabat yang berhak menerima warisan dari orang yang meninggalkan warisan itu, maka ini tidak boleh dilakukan. Karena hal ini sudah dimansukh dengan ayat tentang warisan. Dan telah dijelaskan pula oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan penjelasan yang paling sempurna, ketika beliau berkhutbah pada haji Wada’. Kata beliau:
إِنَّ اللَّهَ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ وَلا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang punya hak,
dan tidak ada wasiat bagi ahli waris.”[4]
Dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi serta hasankan oleh beliau. Juga Imam Al-Baihaqi (6/264) dan mengisyaratkan kuatnya hadits ini. Sungguh beliau telah benar, karena sanadnya memang hasan. Hadits ini memiliki banyak penguat dalam riwayat Imam Al-Baihaqi. Lihatlah Majma’az Zawa’id (4/212).
10. Diharamkan membuat wasiat yang mendatangkan mudharat (kerugian) bagi orang lain, seperti berwasiat agar sebagian ahli waris jangan diberikan hak warisnya atau berwasiat agar melebihkan sebagian ahli waris atas sebagian yang lain. Hal ini disebabkan adanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisaa’: 7)
Di akhir ayat waris ini disebutkan:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
“Sesudah ditunaikan wasiat yang dipesan olehnya atau dibayar hutangnya dengan tidak menimbulkan mudharat (kerugian kepada ahli waris). Semua itu sebagai wasiat dari Allah. Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Lembut.” (An-Nisaa’: 12)
Juga karena adanya sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam:
لا ضرر ولا ضرار, من ضارّ ضارّه الله, ومن شاقّ شاقّه الله
“Janganlah mendatangkan mudharat bagi orang lain dan jangan saling mendatangkan mudharat. Barang siapa yang berbuat kemudharatan niscaya Allah datangkan kemudharatan padanya. Dan Barang siapa yang berbuat permusuhan maka Allah memusuhinya.”
Dikeluarkan oleh Imam Ad-Daruquthni (522) dan Imam Al-Hakim (2/57-58) dari Abu Sa’id Al-Khudry. Imam Adz-Dzahabi menyepakati Imam Al-Hakim atas perkataannya: “Shahih memenuhi persyaratan Muslim.” Yang benar bahwa hadits ini adalah hadits hasan sebagaimana yang dikatakan Imam Nawawi dalam Al-Arba’in dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa (3/262) karena banyaknya jalan dan banyaknya penguat. Telah disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Rajab dalam Syarah Arba’in (hal. 219 dan 220). Kemudian juga telah saya takhrij dalam Irwa’ul Ghalil (no. 888).
11. Wasiat yang lalim (tidak adil) hukumnya batil lagi tertolak, karena adanya sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam:
من احدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ
“Barang siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam (agama) kami ini yang tidak ada asal darinya, maka ia tertolak.”
Dikeluarkan oleh Syaikhaini dalam Shahih keduanya dan Imam Ahmad maupun yang lain. Lihatlah Al-Irwa’ (88).
Juga karena adanya hadits ‘Imran bin Husein: Bahwa ada seseorang yang memerdekakan enam budak laki-laki setelah kematiannya (padahal ia tidak punya harta selain mereka). Lalu datanglah ahli warisnya yang berasal dari orang-orang Arab. Mereka memberitahukan apa yang diperbuat ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Rasulullah pun berkata: “Apa benar ia berbuat demikian?” Beliau melanjutkan: “Kalau saja kami tahu Insya Allah kami tidak menshalatkannya.” Kata ‘Imran: “Beliau kemudian mengundi budak-budak yang telah dimerdekakan, lalu memerdekakan dua orang di antara mereka dan mengembalikan yang empat orang tetap sebagai budak.”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/446) dan Imam Muslim yang semisal itu, demikian pula Imam Ath-Thahawi dan Imam Al-Baihaqi maupun yang lain. Tambahan dalam kurung ada dalam riwayat Imam Muslim, juga dalam salah satu riwayat Imam Ahmad.
12. Ketika banyak terjadi kebid’ahan pada sebagian besar kaum muslimin di masa ini. Begitu pula dalam permasalahan yang berkaitan dengan jenazah. Maka termasuk kewajiban seorang muslim adalah untuk berwasiat agar disiapkan (urusan kematiannya) dan agar dikuburkan berdasarkan Sunnah (tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam), sebagai pengamalan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya para malaikat yang kasar lagi keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka senantiasa melakukan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Oleh karena itu para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam berwasiat dengan hal itu. Atsar-atsar (riwayat) dari mereka dalam hal yang kami sebutkan sagatlah banyak. Tidak mengapa kami cukupkan sebagiannya saja, yaitu:
1. Dari ‘Amar bin Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu’anhu, bapaknya pernah berkata ketika sakit yang menjadi sebab kematiannya: “Buatkanlah untukku liang lahat dan tegakkanlah di atasku batu bata sebagaimana hal itu juga dilakukan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim dan Imam Al-Baihaqi (3/407) maupun selain beliau berdua.
2. Dari Abu Burdah, ia berkata: Ketika menjelang kematiannya, Abu Musa Radhiyallahu’anhu berwasiat, katanya: “Apabila kalian mengatarkan jenazahku maka cepatkanlah langkah kalian dan janganlah mengiringkan jenazahku dengan tempat bara api (anglo). Juga jangan jadikan di hadapanku sesuatupun yang menghalangi antara aku dengan tanah. Jangan pula mendirikan bangunan apapun di atas kuburku. Dan aku persaksikan kepada kalian bahwa aku berlepas diri dari setiap haliqah[5] atau saliqah[6] atau khariqah[7].” Mereka bertanya: “Apakah engkau mendengar sesuatu dalam hal itu?” Jawabnya: “Ya, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/397), Imam Baihaqi (3/395) dan Imam Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.
3. Dari Hudzaifah Radhiyallahu’anhu ia mengatakan: ” Jika aku, mati jangan kalian umumkan kematianku kepada seorangpun, sesungguhnya aku takut kalau perbuatan itu termasuk na’i (mengumumkan kematian yang dilarang), karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam melarang dari na’i.” Dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi (2/129) dan beliau berkata: “Ini hadits hasan.” Diriwayatkan pula oleh yang lain hadits yang semisal dan akan datang pembahasannya dalam bab Na’i.
Dalam bab ini ada pula atsar lain yang akan datang dalam masalah ke 47. Tentang wasiat penguburan ini, Imam Nawawi Rahimahullah berkata dalam Al-Adzkar: “Dianjurkan baginya dengan anjuran yang kuat (ditekankan) untuk berwasiat kepada mereka agar menjauhi adat kebiasaan yang berlaku yang termasuk bid’ah dalam perkara jenazah. Hendaknya ia memperkuat perjanjian dalam masalah ini.”
Foot Note:
[1]. Harga diri adalah tempat pujian atau celaan pada seseorang. Sama saja apakah itu pada dirinya sendiri ataukah pada moyangnya atau siapa saja yang urusannya mengharuskannya (dipuji atau dicela).
[2]. Ini adalah hadits yang shahih dengan adanya hadits yang sebelumnya dan dengan adanya hadits ‘Aisyah yang akan datang di akhir masalah ke-17.
[3]. Yaitu jika telah diketahui secara sepakat bahwa kedua saksi yang bersumpah itu melakukan perbuatan dosa berupa dusta dan menyambunyikan persaksian atau berupa khianat dan menyembunyikan sebagian harta peninggalan ketika keduanya diberi amanah. Maka yang wajib, atau yang harus dilakukan untuk menerngkan yang benar adalah dikembalikannya sumpah itu kepada para ahli waris. Yaitu dengan cara kedua orang saksi itu digantikan oleh dua orang dari wali mayit yang mewarisinya, yang dianggap lebih layak sebagai saksi karena adanya dosa (pada dua saksi awal tadi) yang akan menjadi kejahatan dan pengkhianatan terhadap mereka (ahli waris). Demikian disebutkan dalam Tafsir Al Manar. Untuk kesempurnaan pembahasan ini merujuklah ke sana (7/222).
[4]. Yang memansukh (menghapus) hukumnya adalah Al-Qur’an itu sendiri. sedangkan As-sunnah hanya menjelaskannya, sebagaimana yang kami sebutkan. Juga sebagaimana nampak jelas dari khutbah Rasulullah n. Tidak seperti apa yang dituduhkan oleh banyak orang, bahwa hadits inilah yang memansukhkannya. Kemudian sebagian orang di masa ini merasa dengki dengan kenyataan ini hingga mereka menuduh bahwa hadits ini adalah hadits ahad yang tidak bisa untuk menghapus Al-Qur’an. Selain tuduhan ini sendiri batil, karena yang benar bahwa hadits ahad bisa menghapus Al-Qur’an. Padahal sungguh telah anda ketahui jawabnya bahwa yang menghapus hukum ini adalah Al-Qur’an. Kalaupun toh kita terima bahwa yang menghapus adalah hadits ini, maka hadits ini juga bisa menghapuskannya berdasar kesepakatan ulama’. Karena para ulama’ semuanya mengambilnya dengan penuh terima. Apalagi hadits ini hadits yang mutawatir yang bisa diketahui oleh orang yang meneliti jalan-jalannya yang banyak dan dikuatkan di dalam kitab-kitab kumpulan Sunnah maupun musnad. Semoga kami diberi taufiq untuk mentakhrijnya dan memberikan tahqiq kepadanya dalam juz yang tersendiri.
Kemudian telah saya kumpulkan jalan-jalannya dan saya keluarkan dalam Irwa’ul Ghalil (no.16). Dan lebih dari sepuluh jalan, dari delapan sahabat. Sebagiannya shahih, sebagian lagi hasan dan sebagian lagi dhaif munjabir (ringan kelemahannya).
[5]. Haliqah adalah wanita yang menggundul kepalanya ketika mendapat musibah.
[6]. Saliqah adalah wanita yang berteriak meraung-raung ketika mendapat musibah.
[7]. Khariqah adalah wanita yang menyobek-nyobek baju (krah) ketika mendapat musibah
[Disalin ulang dari kitab Ahkamul Janaiz karya Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullahu ta'ala, edisi Indonesia terbitan Ash Shaf]