Bismillah…
Ketika menuliskan sebuah tulisan sederhana ini, lagi lagi aku berpikir
untuk terus melanjutkan jari jemari ini menari-nari di atas benda hitam
berhuruf banyak yang dinamakan keyboard ini, atau menghentikannya dan
membiarkan celotehan-celotehan tiada henti ini tetap diam di dalam pikiran
pemiliknya. Lagi-lagi kekhawatiran menyelimuti semangat diri untuk terus
menumpahkan segala bentuk diskusi monolog yang senantiasa terjadi manakala aku
mulai melihat fenomena-fenomena “aneh bin ajaib” yang kerap kali aku saksikan.
Lagi-lagi rasa segan, serta rasa ketidakpantasan untuk menulis sebuah tulisan
sederhana ini muncul begitu saja manakala aku mulai menjejakkan jari-jemariku
di atas sebuah keyboard yang tepat berada di hadapanku. Mungkin ada yang
menganggapku berlebihan bila harus merasa khawatir hanya untuk menulis sebuah
tulisan sederhana saja. Mungkin ada yang menganggapku “cemen” bila harus merasa
segan hanya untuk menulis sebuah tulisan sederhana saja. Dan mungkin ada yang
menganggapku “lemot” bila harus berpikir berulang kali hanya untuk menulis
sebuah tulisan sederhana saja. Ya… aku akui bahwa aku memang berlebihan, aku
memang “cemen”, dan aku juga “lemot”. Aku akui itu, tapi akhi wa ukhti…. Seseungguhnyalah
tulisan sederhana ini tak bermakna sederhana bagiku… aku mungkin menuliskannya
dengan bahasa yang sangat sederhana, gaya yang sederhana, serta isi yang
sederhana, tapi aku yakin bahwa makna yang terdapat di dalamnya tak sesederhana
bahasa, gaya, serta isinya bagi mereka yang paham akan apa yang aku coba untuk
sampaikan melalui tulisan sederhana ini. Itulah mengapa aku begitu khawatirnya
dalam penulisan ini. Aku khawatir akan apa yang akan aku sampaikan, karna aku
sebenarnya sangat sadar bahwa aku tak berkapasitas dalam membuat tulisan ini.
Kali ini, di dalam tulisan yang lagi-lagi kusebut sederhana ini, aku
mencoba untuk mengajak akhi wa ukhti semua berdiskusi denganku… aku
tak memaksa akhi
wa ukhti untuk sependapat denganku, aku tak memaksa akhi wa ukhti untuk berdebat denganku, dan aku tak memaksa akhi wa ukhti untuk berada di pihakku… tidak, sama sekali tidak… aku hanya sekedar
ingin menyampaikan apa yang selama ini berkecamuk dalam pikiranku. Aku hanya
sekedar ingin mengajak akhi wa ukhti berpikir ulang mengenai apa
yang akan aku sampaikan, dan aku hanya sekedar ingin mengajak akhi wa ukhti untuk memahami apa yang akan aku sampaikan.
Bismillah…
Ahwat “eksklusif”… aku rasa sebutan itu bukanlah hal baru bagi akhi wa
ukhti sekalian. Sebutan itu bahkan sudah sangat “familiar” di telinga akhi wa
ukhti semua… aku yakin itu. Tapi sebenarnya apa yang akhi wa ukhti ketahui tentang kata “eksklusif” di sini? Ekslusif yang seperti apa
yang akhi wa
ukhti pahami selama ini? Maaf… sekali lagi maaf bila aku
lancang membahasnya di ruang publik ini. Maaf bila aku terpaksa harus
membahasnya di sini. Aku tak berniat menceramahimu, tidak sama sekali… aku
hanya mencoba untuk menasehati diriku sendiri, serta mengajak akhi wa ukhti untuk berada dalam diskusi ini. Aku merasa lelah… jenuh bila harus
mendiskusikannya sendiri. Maka dari itu, aku mencoba untuk mengajak antum semua berada dalam situasi ini, demi cita kita bersama.
Kembali kepada kata “eksklusif” yang menjadi pembahasan kali ini, aku
mencoba untuk menafsirkan makna kata “eksklusif” itu sendiri sebagai sebuah
gaya hidup yang kerap kali dijalani oleh para aktivis dakwah. “ekslusif” yang
kumaksud di sini ialah keterbatasan hubungan sosial antara aktivis dakwah
dengan kalangan umum. Maaf jika aku harus mengatakan bahwa “ekslusif” yang
seperti ini yang kusebut “angkuh”. Memang kita ini siapa sehingga harus
menetapkan standar pertemana?!?. Bahwa kita hanya mau bergaul dengan sesama
aktivis saja, tidak level bila harus membaur dengan kalangan umum.
Astaghfirullah… Angkuh sekali rasanya bila kita sebagai manusia yang “paham”
terus menerapkan gaya hidup seperti ini.
Pada kesempatan ini, aku mungkin hanya akan sedikit membahas masalah
kecil yang berdampak besar ini hanya dalam lingkup muslimah saja. Ya… akhwat lah yang akan aku bahas kali ini.
Mengapa akhwat??? Karna aku seorang akhwat, sehingga dunia akhwat begitu
dekat denganku.
Taukah ukhti bahwa fenomena yang kusebut “aneh bin ajaib” ini begitu seringnya
terjadi di kalangan kita??? Iya… akhwat ukhti… akhwat…
Taukah ukhti bahwa fenomena ini justru kita anggap biasa di kalangan kita???
Lagi-lagi akhwat ukhti…
Dan taukah
ukhti bahwa fenomena ini berdampak besar bagi dakwah kita
ukhti??? Sekali lagi iya ukhti… di kalangan akhwat…
Apa engkau tidak merasa khawatir ukhti…???
Apa engkau menganggap ini hal yang wajar saja ukhti…???
Atau... apa
engkau tidak peduli akan hal ini…???
Maaf… lagi-lagi aku hanya bisa mengucapkan kata maaf yang
sedalam-dalamnya…
Aku tau bahwa aku tak lebih baik darimu, aku tau bahwa aku tak lebih tau
darimu, dan aku tau bahwa aku tak lebih berpengalaman darimu…
Tapi ukhti… ukhti tau kan bahwa setiap muslim itu bersaudara??? ukhti tau kan bahwa sesama saudara harus saling mengingatkan??? Dan ukhti tak lupa kan bahwa aku saudaramu ukhti???
Maka dari itu aku memberanikan diri membuat tulisan ini…
Ini untukmu, dan untukku juga ukhti…
Dari rentetan pertanyaan yang kuajukan sebelumnya, aku tau engkau pasti paham dengan apa yang kumaksudkan. Bahkan hanya dengan membaca judul
dari tulisan ini saja, engkau sudah sangat paham tentang apa yang akan aku
sampaikan.
Berawal dari seringnya menjumpai beberapa kasus sosialisasi antar
aktivis akhwat di kalangan umum, memaksaku untuk membuat tulisan ini.
Seringkali kujumpai aktivis akhwat yang sangat membatasi ruang lingkup
pergaulannya hanya di kalangan mereka saja. Mereka terlalu sibuk dengan
dunianya sendiri sehingga sekedar merapat dalam ruang lingkup yang berbeda pun
terkesan enggan. Mereka membatasi diri untuk terlibat dalam ruang lingkup yang
berbeda, hanya karna merasa terlalu nyaman dalam zonanya sendiri. Tak mau
keluar dari zona nyaman itu, karna mungkin khawatir tidak akan merasa nyaman di
zona yang lain. Bagiku, rasanya perlu untuk keluar sebentar ke zona yang
berbeda. Sebentar saja… hanya untuk merasakan atmosfer di zona yang lain itu. Sebenarnya
bila bicara tentang nyaman atau tidaknya, tentu berada di zona yang berbeda
dengan “tempat kita” tak akan senyaman di zona kita. Tapi kita bisa koq
membuatnya nyaman, walau tak senyaman di zona kita tentunya. Semua tergantung
dari bagaimana kita mencoba membiasakan diri di dalam zona yang lain itu. Aku
yakin ukhti semua sudah sangat paham tentang makna “boleh membaur, asal jangan
melebur”. Ya… itu berarti kita sangat boleh atau bagiku kita sangat perlu untuk
membaur dengan kalangan umum… yang penting kan kita tidak melebur.
Kenapa aku terkesan sangat menganjurkan ukhti
untuk membaur dengan kalangan umum??? Karena mereka butuh kita… dan kita butuh
mereka…
Itulah mengapa aku sangat “recommend you to join with others”…
Mungkin ada yang belum bisa menangkap pesan yang aku sampaikan di atas..
baiklah… aku akan mencoba untuk memperjelasnya… memperjelas segalanya…
Ukhti… aku merupakan salah satu akhwat yang juga pernah berada dalam
masa “kegalauan”… aku tau bagaimana rasanya menjadi orang yang “galau”. Ketika
aku “galau”, terkadang aku bingung di mana harusnya aku bertanya bila aku tak
tau. Kepada teman-temanku yang juga “galau”, tentu aku tak akan mendapat jawaban
apa-apa… wong sama-sama “galau” koq. Dari situ aku mulai mencari cara agar aku
bisa kaluar dari “kegalauan” ini. Hingga akhirnya aku menemukan tempat dimana
di sana tempat berkumpulnya orang-orang seperti kita, ya… aktivis dakwah,
sehingga aku bisa bertanya, dan tak perlu pusing lagi di mana aku harus
bertanya. Aku telah menemukan tempatnya. Melalui pengalamanku itulah aku
mencoba menganalisis bahwasannya untuk berada dalam lingkungan “nyaman” ini
sangatlah sulit. Bahwasannya untuk berkumpul dengan orang-orang di zona
“nyaman” ini begitu sulit. Dan bahwasannya untuk menjadi bagian dari mereka
juga sulit. Mengapa sulit???
Ya karna kita yang harus mencari… kita yang harus “memaksakan diri”
untuk masuk, dan kita yang “bersusah payah” untuk bergabung.
Karena hambatan-hambatan itulah mengapa banyak yang akhirnya memutuskan
untuk mundur kembali ketika sudah mulai tertarik untuk bergabung.
Bagaimana tidak mundur, wong mereka melihatnya para aktivis itu terlalu
“ekslusif” koq…
Mereka jadinya beranggapan bahwa suatu saat ketika mereka telah menjadi
salah satu dari aktivis itu, itu artinya mereka tak bisa bersosialisasi dengan
kalangan umum seperti dulu lagi… mereka juga akan dituntut untuk menjadi
“eksklusif”… membuat kelompok sendiri….
Bagi mereka yang teliti, tentu itu menjadi poin penilaian tersendiri
bagi mereka.
Nah, itu bagi yang masih punya niatan untuk bergabung. Buat yang sama
sekali tak pernah terlintas niatan untuk bergabung… lebih parah lagi
anggapannya terhadap kita.
Sampai di sini mungkin ada yang tidak setuju atau bahkan sangat
menentang opini pribadiku ini. Tak apa… aku sudah mengatakan di awal bahwa aku
tak memaksa akhi
wa ukhti untuk setuju dengan pendapatku. J
karna ini hanya opini kan? Berdasarkan pengalaman serta analisis pribadi.
Baiklah… akan kucoba untuk melanjutkan opiniku…
Dakwah memang ada yang namanya pengkaderan… tidak bisa tidak, pasti ada.
Tapi pengkaderan yang selama ini dikenal oleh aktivis apakah hanya pengkaderan
“resmi” yang dirancang sedemikian rupa dengan agenda yang seabrek-abrek? Apakah
dakwah hanya dilakukan dengan cara yang “resmi” saja? Apakah syiar harus di
masjid saja? Atau di kalangan kita saja??? Aku rasa tidak. Aku rasa mengkader,
berdakwah, mensyiarkan islam bisa di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa
saja. Begitu juga kepada kalangan umum… justru malah itulah lahan dakwah kita…
iya kan???
Maka dari itu…. Ada baiknya bila kita yang menghampiri “customer”… jangan hanya menunggu hingga mereka singgah
untuk berbelanja.
Bagaikan pedagang asongan yang menjajakan dagangannya dari satu tempat
ke tempat yang lain, dengan memperhatikan sasaran tentunya… dibandingkan dengan
pedagang kaki lima yang berdagang di tempat yang di sana tidak ada pembelinya,
yang ada hanya puluhan sesama pedagang kaki lima dengan dagangan yang sama pula.
Kira-kira yang mana yang banyak laku dagangannya??? Yang mana yang duluan
terjual dagangannya???
Kalau masih ada yang menjawab pilihan ke-2… monggo coba dipraktikka saja... hhe.. J
Nah, seperti itulah kira –kira seharusnya kita bersikap. Menjadi
pedagang asongan yang tekun menjajakan dagangannya, bukan malah menjadi
pedangang kaki lima yang menunggu dengan santainya sambil asik bercengkerama
dengan pedagang kaki lima yang lain walau sebenarnya tau bahwa di tempat itu sama
sekali tidak ada yang akan membeli. Siapa yang mau membeli? Pedagang kaki lima
yang lain??? Wong mereka juga menjual dagangan yang sama… hhe...
Wah… sudah terlalu jauh ya aku berjalannya… maaf… J
Ukhtiku
yang tidak aku cintai selain karena Allah...
Taukah engkau bahwa saudara-saudara kita di luar sana juga membutuhkan perhatian dari
kita… mereka juga sebenarnya ingin sekali bisa bersahabat dengan kita…
sebenarnya ada saja pertanyaan yang ingin mereka ajukan kepada kita… tapi…
karna adanya benteng yang terlalu tinggi di antara kita dengan mereka, serta
terlalu jauhnya jarak yang memisahkan kita dengan mereka… itu
membuat mereka segan untuk sekedar bertanya bila mereka butuh jawaban, sekedar
bercerita ketika mereka dirundung masalah, sekedar mendekat bila butuh dorongan
semangat…
Tapi apa yang kita lakukan??? Kita justru menjauh dari mereka… kita
lupakan mereka… kita acuhkan mereka…
Saudara macam apa kita ini?!?
Ketika saudara kita tidak tau… kita biarkan mereka… kita tidak peduli…
seakan itu bukanlah urusan kita…
Ketika saudara kita tampak bersedih… kita tinggalkan mereka… kita tak
mau tau tentang masalah yang mereka alami…
Ketika saudara kita hanya sekedar ingin duduk bercengkerama dengan kita…
kita malah sibuk dengan urusan kita sendiri… tak menghiraukan mereka yang
mencoba untuk tau banyak tentang jalan ini…
Astaghfirullahal ‘adziiimm…
Bukankah kita aktivis… yang seharusnya paham akan hal ini… paham bahwa
hal semacam itu tak boleh terus menerus kita geluti…
Taukah ukhti, bahwa sebenarnya mereka sedang menunggu kita... menanti kita untuk berada
bersamanya... merangkulnya ketika lara mendera... mengingatkannya ketika
terlupa... menyemangatinya ketika ia merasa seakan-akan dunia ini
menghimpitnya... menyegarkannya dengan kalimat-kalimat penuh motivasi darimu...
kemudian, biarkan mereka merasakan indahnya islam... indahnya iman... darimu
ukh...
Alangkah indahnya
persaudaraan yang dibangun dengan cara semacam ini...
Maka dari itu, ayolah ukh...
ayo kita hilangkan budaya lama itu... “eksklusif” sekarang udah bukan
jamannya...
Hari gini kita mesti lebih
peka dengan kondisi sekitar... jangan terlalu sibuk dengan diri sendiri... Please
remember that they need us... and we need them...
Yuk kita tunjukin the real
Islam dari diri kita sendiri...
Persaudaraan itu sangatlah
indah... apalagi kalau bisa sampai ke surga...
Mudah2an kita bisa menjadi
saudara sampai ke surga. J
Afwan atas segalanya...
Tulisan ini hanyalah sebuah
nasihat bumerang yang tentu akan kembali pada yang melemparkan tulisan ini... J