Home » » Akhwat "Eksklusif"? Udah Gak Jaman Kaleee :D

Akhwat "Eksklusif"? Udah Gak Jaman Kaleee :D




Bismillah…

Ketika menuliskan sebuah tulisan sederhana ini, lagi lagi aku berpikir untuk terus melanjutkan jari jemari ini menari-nari di atas benda hitam berhuruf banyak yang dinamakan keyboard ini, atau menghentikannya dan membiarkan celotehan-celotehan tiada henti ini tetap diam di dalam pikiran pemiliknya. Lagi-lagi kekhawatiran menyelimuti semangat diri untuk terus menumpahkan segala bentuk diskusi monolog yang senantiasa terjadi manakala aku mulai melihat fenomena-fenomena “aneh bin ajaib” yang kerap kali aku saksikan. Lagi-lagi rasa segan, serta rasa ketidakpantasan untuk menulis sebuah tulisan sederhana ini muncul begitu saja manakala aku mulai menjejakkan jari-jemariku di atas sebuah keyboard yang tepat berada di hadapanku. Mungkin ada yang menganggapku berlebihan bila harus merasa khawatir hanya untuk menulis sebuah tulisan sederhana saja. Mungkin ada yang menganggapku “cemen” bila harus merasa segan hanya untuk menulis sebuah tulisan sederhana saja. Dan mungkin ada yang menganggapku “lemot” bila harus berpikir berulang kali hanya untuk menulis sebuah tulisan sederhana saja. Ya… aku akui bahwa aku memang berlebihan, aku memang “cemen”, dan aku juga “lemot”. Aku akui itu, tapi akhi wa ukhti…. Seseungguhnyalah tulisan sederhana ini tak bermakna sederhana bagiku… aku mungkin menuliskannya dengan bahasa yang sangat sederhana, gaya yang sederhana, serta isi yang sederhana, tapi aku yakin bahwa makna yang terdapat di dalamnya tak sesederhana bahasa, gaya, serta isinya bagi mereka yang paham akan apa yang aku coba untuk sampaikan melalui tulisan sederhana ini. Itulah mengapa aku begitu khawatirnya dalam penulisan ini. Aku khawatir akan apa yang akan aku sampaikan, karna aku sebenarnya sangat sadar bahwa aku tak berkapasitas dalam membuat tulisan ini.
Kali ini, di dalam tulisan yang lagi-lagi kusebut sederhana ini, aku mencoba untuk mengajak akhi wa ukhti semua berdiskusi denganku… aku tak memaksa akhi wa ukhti untuk sependapat denganku, aku tak memaksa akhi wa ukhti untuk berdebat denganku, dan aku tak memaksa akhi wa ukhti untuk berada di pihakku… tidak, sama sekali tidak… aku hanya sekedar ingin menyampaikan apa yang selama ini berkecamuk dalam pikiranku. Aku hanya sekedar ingin mengajak akhi wa ukhti berpikir ulang mengenai apa yang akan aku sampaikan, dan aku hanya sekedar ingin mengajak akhi wa ukhti untuk memahami apa yang akan aku sampaikan.
Bismillah…
Ahwat “eksklusif”… aku rasa sebutan itu bukanlah hal baru bagi akhi wa ukhti sekalian. Sebutan itu bahkan sudah sangat “familiar” di telinga akhi wa ukhti semua… aku yakin itu. Tapi sebenarnya apa yang akhi wa ukhti ketahui tentang kata “eksklusif” di sini? Ekslusif yang seperti apa yang akhi wa ukhti pahami selama ini? Maaf… sekali lagi maaf bila aku lancang membahasnya di ruang publik ini. Maaf bila aku terpaksa harus membahasnya di sini. Aku tak berniat menceramahimu, tidak sama sekali… aku hanya mencoba untuk menasehati diriku sendiri, serta mengajak akhi wa ukhti untuk berada dalam diskusi ini. Aku merasa lelah… jenuh bila harus mendiskusikannya sendiri. Maka dari itu, aku mencoba untuk mengajak antum semua berada dalam situasi ini, demi cita kita bersama.
Kembali kepada kata “eksklusif” yang menjadi pembahasan kali ini, aku mencoba untuk menafsirkan makna kata “eksklusif” itu sendiri sebagai sebuah gaya hidup yang kerap kali dijalani oleh para aktivis dakwah. “ekslusif” yang kumaksud di sini ialah keterbatasan hubungan sosial antara aktivis dakwah dengan kalangan umum. Maaf jika aku harus mengatakan bahwa “ekslusif” yang seperti ini yang kusebut “angkuh”. Memang kita ini siapa sehingga harus menetapkan standar pertemana?!?. Bahwa kita hanya mau bergaul dengan sesama aktivis saja, tidak level bila harus membaur dengan kalangan umum. Astaghfirullah… Angkuh sekali rasanya bila kita sebagai manusia yang “paham” terus menerapkan gaya hidup seperti ini.
Pada kesempatan ini, aku mungkin hanya akan sedikit membahas masalah kecil yang berdampak besar ini hanya dalam lingkup muslimah saja. Ya…  akhwat lah yang akan aku bahas kali ini.
Mengapa akhwat??? Karna aku seorang akhwat, sehingga dunia akhwat begitu dekat denganku.
Taukah ukhti bahwa fenomena yang kusebut “aneh bin ajaib” ini begitu seringnya terjadi di kalangan kita??? Iya… akhwat ukhti… akhwat…
Taukah ukhti bahwa fenomena ini justru kita anggap biasa di kalangan kita??? Lagi-lagi akhwat ukhti…
Dan taukah ukhti bahwa fenomena ini berdampak besar bagi dakwah kita ukhti??? Sekali lagi iya ukhti… di kalangan akhwat…

Apa engkau tidak merasa khawatir ukhti…???
Apa engkau menganggap ini hal yang wajar saja ukhti…???
Atau... apa engkau tidak peduli akan hal ini…???

Maaf… lagi-lagi aku hanya bisa mengucapkan kata maaf yang sedalam-dalamnya…
Aku tau bahwa aku tak lebih baik darimu, aku tau bahwa aku tak lebih tau darimu, dan aku tau bahwa aku tak lebih berpengalaman darimu…
Tapi ukhti… ukhti tau kan bahwa setiap muslim itu bersaudara??? ukhti tau kan bahwa sesama saudara harus saling mengingatkan??? Dan ukhti tak lupa kan bahwa aku saudaramu ukhti???
Maka dari itu aku memberanikan diri membuat tulisan ini…
Ini untukmu, dan untukku juga ukhti…
Dari rentetan pertanyaan yang kuajukan sebelumnya, aku tau engkau pasti paham dengan apa yang kumaksudkan. Bahkan hanya dengan membaca judul dari tulisan ini saja, engkau sudah sangat paham tentang apa yang akan aku sampaikan.
Berawal dari seringnya menjumpai beberapa kasus sosialisasi antar aktivis akhwat di kalangan umum, memaksaku untuk membuat tulisan ini.
Seringkali kujumpai aktivis akhwat yang sangat membatasi ruang lingkup pergaulannya hanya di kalangan mereka saja. Mereka terlalu sibuk dengan dunianya sendiri sehingga sekedar merapat dalam ruang lingkup yang berbeda pun terkesan enggan. Mereka membatasi diri untuk terlibat dalam ruang lingkup yang berbeda, hanya karna merasa terlalu nyaman dalam zonanya sendiri. Tak mau keluar dari zona nyaman itu, karna mungkin khawatir tidak akan merasa nyaman di zona yang lain. Bagiku, rasanya perlu untuk keluar sebentar ke zona yang berbeda. Sebentar saja… hanya untuk merasakan atmosfer di zona yang lain itu. Sebenarnya bila bicara tentang nyaman atau tidaknya, tentu berada di zona yang berbeda dengan “tempat kita” tak akan senyaman di zona kita. Tapi kita bisa koq membuatnya nyaman, walau tak senyaman di zona kita tentunya. Semua tergantung dari bagaimana kita mencoba membiasakan diri di dalam zona yang lain itu. Aku yakin ukhti semua sudah sangat paham tentang makna “boleh membaur, asal jangan melebur”. Ya… itu berarti kita sangat boleh atau bagiku kita sangat perlu untuk membaur dengan kalangan umum… yang penting kan kita tidak melebur.
Kenapa aku terkesan sangat menganjurkan ukhti untuk membaur dengan kalangan umum??? Karena mereka butuh kita… dan kita butuh mereka…
Itulah mengapa aku sangat “recommend you to join with others”…
Mungkin ada yang belum bisa menangkap pesan yang aku sampaikan di atas.. baiklah… aku akan mencoba untuk memperjelasnya… memperjelas segalanya…
Ukhti… aku merupakan salah satu akhwat yang juga pernah berada dalam masa “kegalauan”… aku tau bagaimana rasanya menjadi orang yang “galau”. Ketika aku “galau”, terkadang aku bingung di mana harusnya aku bertanya bila aku tak tau. Kepada teman-temanku yang juga “galau”, tentu aku tak akan mendapat jawaban apa-apa… wong sama-sama “galau” koq. Dari situ aku mulai mencari cara agar aku bisa kaluar dari “kegalauan” ini. Hingga akhirnya aku menemukan tempat dimana di sana tempat berkumpulnya orang-orang seperti kita, ya… aktivis dakwah, sehingga aku bisa bertanya, dan tak perlu pusing lagi di mana aku harus bertanya. Aku telah menemukan tempatnya. Melalui pengalamanku itulah aku mencoba menganalisis bahwasannya untuk berada dalam lingkungan “nyaman” ini sangatlah sulit. Bahwasannya untuk berkumpul dengan orang-orang di zona “nyaman” ini begitu sulit. Dan bahwasannya untuk menjadi bagian dari mereka juga sulit. Mengapa sulit???
Ya karna kita yang harus mencari… kita yang harus “memaksakan diri” untuk masuk, dan kita yang “bersusah payah” untuk bergabung.
Karena hambatan-hambatan itulah mengapa banyak yang akhirnya memutuskan untuk mundur kembali ketika sudah mulai tertarik untuk bergabung.
Bagaimana tidak mundur, wong mereka melihatnya para aktivis itu terlalu “ekslusif” koq…
Mereka jadinya beranggapan bahwa suatu saat ketika mereka telah menjadi salah satu dari aktivis itu, itu artinya mereka tak bisa bersosialisasi dengan kalangan umum seperti dulu lagi… mereka juga akan dituntut untuk menjadi “eksklusif”… membuat kelompok sendiri….
Bagi mereka yang teliti, tentu itu menjadi poin penilaian tersendiri bagi mereka.
Nah, itu bagi yang masih punya niatan untuk bergabung. Buat yang sama sekali tak pernah terlintas niatan untuk bergabung… lebih parah lagi anggapannya terhadap kita.
Sampai di sini mungkin ada yang tidak setuju atau bahkan sangat menentang opini pribadiku ini. Tak apa… aku sudah mengatakan di awal bahwa aku tak memaksa akhi wa ukhti untuk setuju dengan pendapatku. J karna ini hanya opini kan? Berdasarkan pengalaman serta analisis pribadi.
Baiklah… akan kucoba untuk melanjutkan opiniku…
Dakwah memang ada yang namanya pengkaderan… tidak bisa tidak, pasti ada. Tapi pengkaderan yang selama ini dikenal oleh aktivis apakah hanya pengkaderan “resmi” yang dirancang sedemikian rupa dengan agenda yang seabrek-abrek? Apakah dakwah hanya dilakukan dengan cara yang “resmi” saja? Apakah syiar harus di masjid saja? Atau di kalangan kita saja??? Aku rasa tidak. Aku rasa mengkader, berdakwah, mensyiarkan islam bisa di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Begitu juga kepada kalangan umum… justru malah itulah lahan dakwah kita… iya kan???
Maka dari itu…. Ada baiknya bila kita yang menghampiri “customer”…  jangan hanya menunggu hingga mereka singgah untuk berbelanja.
Bagaikan pedagang asongan yang menjajakan dagangannya dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan memperhatikan sasaran tentunya… dibandingkan dengan pedagang kaki lima yang berdagang di tempat yang di sana tidak ada pembelinya, yang ada hanya puluhan sesama pedagang kaki lima dengan dagangan yang sama pula. Kira-kira yang mana yang banyak laku dagangannya??? Yang mana yang duluan terjual dagangannya???
Kalau masih ada yang menjawab pilihan ke-2… monggo coba dipraktikka saja... hhe.. J
Nah, seperti itulah kira –kira seharusnya kita bersikap. Menjadi pedagang asongan yang tekun menjajakan dagangannya, bukan malah menjadi pedangang kaki lima yang menunggu dengan santainya sambil asik bercengkerama dengan pedagang kaki lima yang lain walau sebenarnya tau bahwa di tempat itu sama sekali tidak ada yang akan membeli. Siapa yang mau membeli? Pedagang kaki lima yang lain??? Wong mereka juga menjual dagangan yang sama… hhe...
Wah… sudah terlalu jauh ya aku berjalannya… maaf… J
Ukhtiku yang tidak aku cintai selain karena Allah...
Taukah engkau bahwa saudara-saudara kita di luar sana juga membutuhkan perhatian dari kita… mereka juga sebenarnya ingin sekali bisa bersahabat dengan kita… sebenarnya ada saja pertanyaan yang ingin mereka ajukan kepada kita… tapi… karna adanya benteng yang terlalu tinggi di antara kita dengan mereka, serta terlalu jauhnya jarak yang memisahkan kita dengan mereka… itu membuat mereka segan untuk sekedar bertanya bila mereka butuh jawaban, sekedar bercerita ketika mereka dirundung masalah, sekedar mendekat bila butuh dorongan semangat…
Tapi apa yang kita lakukan??? Kita justru menjauh dari mereka… kita lupakan mereka… kita acuhkan mereka…
Saudara macam apa kita ini?!?
Ketika saudara kita tidak tau… kita biarkan mereka… kita tidak peduli… seakan itu bukanlah urusan kita…
Ketika saudara kita tampak bersedih… kita tinggalkan mereka… kita tak mau tau tentang masalah yang mereka alami…
Ketika saudara kita hanya sekedar ingin duduk bercengkerama dengan kita… kita malah sibuk dengan urusan kita sendiri… tak menghiraukan mereka yang mencoba untuk tau banyak tentang jalan ini…
Astaghfirullahal ‘adziiimm…
Bukankah kita aktivis… yang seharusnya paham akan hal ini… paham bahwa hal semacam itu tak boleh terus menerus kita geluti…
Taukah ukhti, bahwa sebenarnya mereka sedang menunggu kita... menanti kita untuk berada bersamanya... merangkulnya ketika lara mendera... mengingatkannya ketika terlupa... menyemangatinya ketika ia merasa seakan-akan dunia ini menghimpitnya... menyegarkannya dengan kalimat-kalimat penuh motivasi darimu... kemudian, biarkan mereka merasakan indahnya islam... indahnya iman... darimu ukh...
Alangkah indahnya persaudaraan yang dibangun dengan cara semacam ini...
Maka dari itu, ayolah ukh... ayo kita hilangkan budaya lama itu... “eksklusif” sekarang udah bukan jamannya...
Hari gini kita mesti lebih peka dengan kondisi sekitar... jangan terlalu sibuk dengan diri sendiri... Please remember that they need us... and we need them...
Yuk kita tunjukin the real Islam dari diri kita sendiri...
Persaudaraan itu sangatlah indah... apalagi kalau bisa sampai ke surga...
Mudah2an kita bisa menjadi saudara sampai ke surga. J

Afwan atas segalanya...

Tulisan ini hanyalah sebuah nasihat bumerang yang tentu akan kembali pada yang melemparkan tulisan ini... J


0 comments:

Posting Komentar

Kalender Hijriah

 
Copyright © 2013. LDSI At-tarbawi - All Rights Reserved
Published by LDSI At-tarbawi
Proudly powered by Blogger