Segala puji bagi
Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
kepada keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya sampai hari
kiamat. Amma ba'du:
Berikut ini merupakan
masalah-masalah seputar safar yang perlu diketahui oleh setiap musafir agar
perjalanan mereka diberkahi, insya Allah.
1. Perjalanan yang disebut sebagai safar
Setiap perjalanan
yang dianggap oleh orang-orang sebagai safar (bepergian jauh), maka tidak syak
lagi bahwa perjalanan tersebut adalah safar, baik jaraknya jauh atau tidak
begitu jauh, lama atau hanya sebentar. Yang dijadikan patokan dalam hal ini
adalah 'uruf (kebiasaan umum yang berlaku). Hal itu, karena dalil-dalil safar yang
berlaku di sana
rukhshah bersifat mutlak, tidak dibatasi oleh apa pun. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
"Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar
shalat(mu)…dst" (Terj. An Nisaa': 101)
2. Menjadikan suatu tempat sebagai tempat tinggal (baca: Istiithaan).
Istiithaan terbagi
menjadi dua:
a. Seseorang menempati tempat tinggal aslinya (kampung
halamannya).
b. Seseorang menempati tempat lain sebagai tempat
tinggalnya.
Untuk yang pertama,
jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu, dan dalam dirinya ada niat
kembali lagi serta tidak menjadikan tempat lain sebagai tempat tinggalnya, maka
keluarnya dianggap sebagai musafir.
Untuk yang kedua,
jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu meskipun perginya ke kampung
halamannya untuk berkunjung, dan tidak bermaksud tinggal di sana, maka kepergiannya ke kampung halamannya
dianggap sebagai safar, berlaku hukum-hukum safar baginya. Hal ini, sebagaimana
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika keluar dari Makkah dan tinggal
di Madinah, maka ketika Beliau ke Makkah, Beliau sebagai musafir. Oleh karena
itu, saat Beliau ke Makkah dan melakukan shalat di sana, Beliau mengqasharnya, dan menyuruh
penduduk makkah sebagai makmum menyempurnakan shalatnya.
3. Mulai berlaku hukum-hukum safar
Apabila seseorang
berpisah dari bangunan-bangunan kotanya, maka mulai berlaku hukum safar
baginya. Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata,
"Aku shalat Zhuhur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di
Madinah empat rak'at, dan di Dzulhulaifah dua rak'at." (HR. Bukhari)
Syaikh Ibnu 'Utsaimin
rahimahullah berkata, "Yang dijadikan patokan adalah berpisah badan dari
bangunan yang ada, bukan berpisah pandangan, yakni tidak disyaratkan dalam
berpisah itu harus tidak melihat rumah-rumah, bahkan cukup berpisah
badan." (Asy Syarhul Mumti' 4/512)
4. Adab safar
Ada
beberapa adab bagi musafir, di antaranya adalah:
a. Dianjurkan memilih hari Kamis
Hal ini berdasarkan
hadits Ka'ab bin Malik berikut, ia berkata: "Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam hampir tidak keluar dalam safar kecuali pada hari
Kamis." (HR. Bukhari)
b. Berdoa ketika berangkat dan ketika pulang.
Ibnu Umar berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam apabila telah berada di atas untanya untuk keluar
bersafar, Beliau bertakbir tiga kali dan mengucapkan:
« سُبْحَانَ
الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى
رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا
الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا
سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى
السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ
وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ
وَالأَهْلِ » .
"Mahasuci Allah
yang menundukkan binatang ini bagi kami, dan sebelumnya kami tidak mampu
menundukkannya, dan sesungguhnya hanya kepada Tuhan kamilah kembali. Ya Allah,
sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dalam safar kami ini kebaikan, ketakwaan dan amalan yang Engkau
ridhai. Ya Allah, ringankanlah bagi kami safar ini dan dekatkanlah yang jauh.
Ya Allah, Engkaulah teman di perjalanan dan pengganti kami bagi keluarga. Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan safar, pandangan
yang menyedihkan dan buruknya tempat kembali pada harta dan keluarga."
dan apabila Beliau pulang, maka Beliau mengucapkan kata-kata yang
sama, namun menambah (dengan kata-kata):
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ »
.
"Dalam keadaan kembali, bertobat, beribadah dan memuji
Tuhan Kami." (HR. Muslim)
c. Dianjurkan mengucapkan "A'uudzu
bikalimaatillahittaammah min syarri maa khalaq" ketika singgah di suatu
tempat.
Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ
نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ
شَرِّ مَا خَلَقَ . لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ
ذَلِكَ » .
"Barang siapa yang menempati suatu tempat, lalu
mengucapkan, "A'uudzu…dst." (artinya: Aku berlindung dengan
kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya), maka tidak ada sesuatu
pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu." (HR. Muslim)
d. Dianjurkan bertakbir ketika menaiki tempat tinggi dan
bertasbih ketika turun.
Jabir radhiyallahu
'anhu berkata, "Kami ketika menaiki tempat tinggi bertakbir dan ketika
turun bertasbih." (HR. Bukhari)
e. Dianjurkan berdoa ketika masuk ke sebuah kampung.
Doanya adalah sbb.:
اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّموَاتِ السَّبْعِ وَمَا
أَظْلَلْنَ ، وَرَبَّ الْأَرَضِيْنَ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ ،وَرَبَّ
الشَّيَاطِيْنِ وَمَا أَضْلَلْنَ ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ. أَسْأَلُكَ
خَيْرَ هَذِهِ اْلقَرْيَةِ وَخَيْرَ أَهْلِهَا ، وَخَيْرَ مَا فِيْهَا، وَأَعُوْذُ
بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ أَهْلِهَا ، وَشَرِّ مَا فِيْهَا
“Ya Allah, Tuhan langit yang tujuh dan apa yang dinaunginya,
Tuhan bumi yang tujuh dan apa yang berada di atasnya, Tuhan setan-setan dan
makhluk yang disesatkannya, Tuhan angin dan apa yang dibawanya. Aku meminta
kepada-Mu kebaikan kampung ini dan kebaikan penghuninya serta kebaikan yang ada
di dalamnya. Aku pun berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan
penghuninya dan keburukan yang ada di dalamnya.” (HR. Nasa'i dalam 'Amalul
yaum, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Hakim dan ia menshahihkannya serta disepakati
oleh Adz Dzahabi)
f. Wanita yang bersafar harus disertai mahram.
Haram hukumnya bagi
wanita bersafar sendiri. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam berikut:
« لاَ
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرِ
الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ » .
"Janganlah sekali-kali seseorang berkhalwat (berduaan)
dengan wanita kecuali ditemani mahram, dan janganlah seorang wanita bersafar
kecuali bersama mahram." (HR. Muslim)
Dalam hadits Abu
Sa'id Al Khudriy disebutkan contoh mahram:
...إِلاَّ
وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوِ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
مِنْهَا » .
"… Kecuali bersamanya ada bapaknya atau anaknya atau
suaminya atau saudaranya atau mahram lainnya." (HR. Muslim)
Larangan di atas
adalah umum bagi setiap wanita, baik masih kecil atau sudah dewasa.
Syarat mahram adalah muslim, laki-laki, baligh dan
berakal.
g. Jika jumlah
orang yang bepergian ada tiga orang atau lebih disunatkan mengangkat ketua
rombongan.
اِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ
فَلْيُؤَمِّرُوْا اَحَدَهُمْ (ابو داود وصححه الالباني)
"Apabila
keluar tiga orang untuk bepergian, maka hendaknya mereka mengangkat salah
seorang di antara mereka sebagai ketua." (HR. Abu Dawud)
h. Dianjurkan bagi musafir ketika berpamitan dengan
keluarga dan kawannya mendoakan mereka.
Doanya adalah:
أَسْتَوْدِعُكَ اللهَ الَّذِي لاَ تَضِيعُ
وَدَائِعُهُ
“Aku menitipkan kamu kepada Allah, di mana tidak akan sia-sia
titipan-Nya.” (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan keluarga atau kawannya
dianjurkan menjawab dengan kata-kata:
أَسْتَوْدِعُ اللهُ دِيْنَكَ وَاَمَانَتَكَ
وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ
“Aku titipkan kamu kepada Allah baik agama, amanat maupun
akhir-akhir amalmu.” (HR. Tirmidzi)
5. Rukhshah (keringanan) bagi musafir
ü Boleh
menyapu bagian atas khuff (sepatu yang menutupi kedua mata kaki) ketika
berwudhu', tanpa perlu melepasnya. Hal ini apabila ia memasukkan kedua kakinya
ke dalam sepatu dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar, selama tiga
hari tiga malam. Namun jika ia mukim (di mana ia sudah menyempurnakan
shalatnya), maka lamanya hanya sehari semalam.
ü Boleh
bertayammum bila tidak mendapatkan air atau susah mencarinya.
ü Seorang
musafir yang tidak mengetahui arah kiblat wajib berusaha mencarinya baik dengan
bertanya atau lainnya. Jika telah berusaha mencarinya, lalu ia shalat dan
setelah shalat ternyata tidak menghadap kiblat, maka shalatnya sah; tidak perlu
diulangi. Namun, jika ia tidak berusaha mencarinya, dan ternyata shalatnya
tidak menghadap kiblat, maka ia wajib mengulangi (lih. Al Mumti' 2/281)
ü Dianjurkan
membaca surat-surat pendek setelah Al Fatihah dalam shalat ketika safar. Dalam
Shahih Muslim disebutkan,
"Bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Isya bersama para
sahabat ketika safar dengan membaca Wat Tiini waz zaitun."
ü Disyari'atkan
mengqashar (mengurangi) jumlah shalat yang empat rak'at menjadi dua, seperti shalat
Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya. Kecuali jika dia bermakmum kepada imam yang bukan
musafir, maka ia mengikuti imam (tidak mengqashar shalat).
ü Bagi musafir
yang telah singgah di tempat yang dituju harus tetap menjaga shalat berjama'ah.
Kecuali ketika ia masih dalam perjalanan, maka tidak mesti berhenti untuk
shalat berjamaah saat mendengar azan.
ü Boleh
menjama' (menggabung) Zhuhur dan ‘Ashar atau Maghrib dan Isya, baik jama'
taqdim (di awal waktu) maupun jama' ta’khir (di akhir waktu seperti melakukan
shalat Zhuhur dan ‘Asharnya di waktu ‘Ashar), hal ini jika perjalanan berat
atau ia butuh menjama'.
ü Boleh
melakukan shalat sunat di atas kendaraannya ke mana saja kendaraannya
menghadap, namun untuk shalat fardhu hendaklah dia turun dan menghadap ke kiblat,
kecuali jika tidak memungkinkan untuk turun dan waktu shalat akan habis.
ü Boleh
berbuka puasa.
Marwan bin Musa
Maraaji': Al Mukhtashar fii ahkaamis safar, (Syaikh Fahd bin Yahya Al
'Ammariy), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakr Al jazaa'iriy).sumber : wawasankeislaman.blogspot.com